Cerpen, Oleh Ayu Permata Sari “Deal”
Deal
Obat-obatan mungkin membuat sebagian orang merasa mual, takut, ataupun merasakan sedang berada di rumha sakit namun, tidak untukku aku berkecimpung di dunia obat. Aku senang meracik obat dan menyelamatkan nyawa orang dengan obat. Aku dan duniaku membantu para dokter menyembuhkan para pasiennya.
Di dunia ini terdapat beraneka ragam obat. Menurut penggolongannya ada obat yang tergolong keras, numerik, bebas dan lainnya. Kebanyakan orang takut dengan obat karena dianggap berbahaya namun, menurutku tidak ada obat yang berbahaya, semua obat dibuat berdasarkan kegunaannya masing-masing. Ya…aku paham akan hal itu. Aku adalah seorang apoteker. Dunia kefarmasian adalah hidupku. Farmasi…ya farmasi, dia hidupku tapi dulu dia juga yang membuat ketegangan dalam keluargaku, yang meninggalkan luka dalam hingga detik ini.
Dulu, semasa aku masih duduk di bangku kelas 3 SMA, aku mulai menyukai yang namanya kimia. Aku memutuskan untuk menempuh pendidikan dibidang kimia khususnya farmasi. Namun, itu malah membuat ketegangan antara aku dan orang tuaku.
“Apa? Kamu mau nagambil sekolah farmasi? Kamu mau buat malu keluarga? Farmasi nanti kamu dituduh sebagai pembuat racun, pembasmi manusia. Keluarga kita semuanya adalah polisi, sekarang kamu mau melenceng dari garis itu hah…?”
“Tapi…Lala gak mau jadi polisi pa! Lala mau jadi apoteker, Lala mau nyelamatin nyawa orang, toh jadi polisi ataupun apoteker sama-sama mengabdi kepada masyarakat kan?”
“Tapi itu berbeda La, pokoknya kamu harus masuk akademi polisi! Yang nguliahin kamu tuh papa jadi kamu harus ikut kata papa!”
“Oh… ok kalau gitu Lala gak usah kuliah aja sekalian Pa! biar papa bangga anak seorang jenderal polisi hanya tamatan SMA!”
Aku meninggalkan ruang keluarga dan masuk ke kamarku. Ku peluk beruang teddyku. Merasa bersalah karena terlalu kasar namun merasa benar akan impianku. Semua sesak di dada ini berkecamuk. “Apa salahnya jika aku mencoba meraih mimpiku? Kenapa harus selalu nurutin garis keluarga? Bukan berarti seorang gadis keturunan keluarga polisi harus turut ikut jadi polisi dong?”
Semalaman air mataku terus berlinang, andai aja mama masih ada pasti mama bakalan ngerti. Tetesan rinai hujan kini menjadi hujan lebat, tak kuasa ku bendung. Papa dengan keras kepalanya membuatku merasa bersalah. Hanya papa yang saat ini ku punya, aku gak mau menjadi anak durhaka, tapi hati ini gak mau menerima keputusan papa. Hatiku perih, hingga di sekolah pun perihnya tak kunjung hilang.
“La, lo kenapa sih dari tadi aku perhatiin kok murung gak kayak biasanya?” Tanya Sisi sahabatku.
“Hmm…kepala gue puyeng Si… Bokap gue keras kepala banget, dia tetep kukuh nyuruh gue jadi polwan”
“Hah…klo itu gue udah nebak sih, secara dari kecil kan bokap lo udah nyiapin diri lo buat gantiin posisi dia di kepolisiaan”
“Iya sih dulu gue emang mau banget pake seragam polwan, tapi itu kan dulu sebelum gue kenal dunia farmasi Si! Sekarang gue mau jadi apoteker, hal ini udah gue putusin sejak mama gue meninggal 5 bulan yang lalu. Gue merasa bersalah karena gue gak bias nolong mama gue”
“Iya, gue tau kok, tapi menurut gue kayaknya lo harus yakinin bokap lo tentang impian jadi apoteker ini!”
“Yakinin? Yakinin pake apa?
“Gue punya ide jadi lo kayak buat perjanjiaan gitu sama bokap lo, jadi lo buktiin klo lo bakal masuk univ favorit di jurusan farmasi, klo lo gagal maka lo bakal masuk ke akademi polisi seperti yang bokap lo mau, gimana…?”
“Ide lo bagus juga sih…,tapiiii…”
“Ahhh… udah de itu saran terbaik gue, lakuin aja napa? Emg lo mau jadi polwan hah?”
Muka cemberut hanya itu yang bisa ku ekspresikan. Sarannya sisi yang terinspirasi dari film itu akhirnya membuat hatiku jadi sedikit lebih ringan. Malamnya ku beranikan diri untuk membicarakan hal itu dengan papa, atau ibaratnya mau melakukan perjanjian bisnis dengan bos ternama.
“Pa, Lala mau ngomong, masalah papa yang mau Lala jadi polwan. Jadi gini Pa, Lala mau buat perjanjian sama papa klo Lala bisa masuk univ favorit dijurusan farmasi maka papa harus ngijinin Lala buat kuliah dijurusan farmasi”
“Klo kamu gagal…?”
“Ka…ka…kalo Lala gagal maka Lala bakalan ngikutin kemauan papa buat masuk ke a…a…akademi polisi”
“Hmmm…menarik, ok papa setuju tapi klo kamu gagal kamu gak boleh nolak apapun soal rancangan kuliah papa buat kamu!”
“Ok deal”
Sebulan berlalu semenjak perjanjian aku dan papa, awalnya memeang mudah toh aku adalah salah satu anak berprestasi di sekolah. Semua nilai ujianku bagus dan hasil try out ku adalah nilai paling tinggi di tingkat kota. Tidak ada masalah yang membebaniku. Hingga suatu hari aku jadi bosan untuk belajar, terlalau banyak pujian yang datang menghampiri membuatku lupa bahwa semua kemampuanku itu hanya titipan belaka. Nilaiku yang terus naik tanpa harus belajar dengan giat membuatku besar kepala apalagi melihat wajah papa yang kelihatannya mulai pasrah dan membiarkanku masuk ke sekolah farmasi membawaku jatuh ke lubang yang dalam tanpa ku sadari.
“Huh…bosan…”
“La…lo kenapa gak semangat gitu sih belajarnya, biasanya lo yang paling semangat buat belajar”
“Bosan gue, belajar mulu gimana klo hari ini kita pergi ke mall aja?”
“Hah…gila lo, besok kan ujian tingkat provinsi, gue harus belajar buat dapatin nilai bagus! Nanti klo sampe nilai lo jelek masuk polwan baru tahu rasa lo!”
“Ihhh…resek…lagian pasti ujian besok soalnya itu-itu aja lo pasti bakalan mudah deh!”
“Sok tahu lo…”
Keangkuhanku mulai merusak pikiranku, membuatku malas hingga tak memikirkan dampak yang akan terjadi. Saat ujian dimulai aku dengan santainya memasuki rungan kelas, aku sama sekali tidak takut dengan ujian ini. Teman-temanku yang lain sangat khwatir karena menurut rumornya ujian ini akan sangat susah.
“Hah…hhh… apa ini? Kok soalnya jadi jauh beda gini? Jadi semakin susah dari yang terakhir gue pelajari. Duhh…gimana ni gue cuma bias jawab 50% dari soalnya” Gumaman demi gumaman ku lontarkan selama mengukuti ujian. Ujian yang tak ku sangka akan jadi sesusah itu. Kepala ku pusing memikirkan lembar jawaban ujian. Tanpa terasa waktu ujian pun habis dan semua siswa merasa sangat lega karena ujian selesai dan mereka telah mengerahkan kemampuan mereka untuk menjawab soal dengan semaksimal mungkin.
“Wuiihhh… leganya… ternyata soalnya emang susah ya La, tapi untungnya kita udah belajar dangan giat ya kan La? La…? Lala!”
“Hmm…ya…kenapa Si? Sorry tadi gue ngelamun…”
“La, lo kenapa sih? Ada masalah lagi sama papa lo?”
“Nggg…gak kok gak ada apa-apa, gue cuman kurang tidur aja kayaknya”
“Lo aneh…mendingan lo jujur deh, muka lo tu gak bisa boong sama gue!”
“Ahhh…Si gue pulang duluan ya, gue ada janji sama papa, bye!”
Ya hanya itu yang bisa ku ucapkan pada Sisi aku belum bisa jujur aku masih shock akan ujian tadi. Aku yang biasanya dapat menjawab soal sesulit apapun dengan mudah sekarang gak bisa membuatku tertekan. Kini aku mulai khawatir bagaimana klo niai ujianku jelek? Gimana klo aku gara-gara itu aku gak bisa masuk farmasi? Gimana klo…ahhh… pertanyaan demi pertanyaan memenuhi otakku seharian.
“Ahhh…gak ini gak mungkin, seorang Lala Prasetya gagal ujian itu gak mungkin! Ok…ok tenang La, mungkin lo cuman bisa jawab 50% dari soal tapi belum tentu anak-anak lain bisa jawab lebih baik dari itu, pasti dengan 50% lo udah bisa jadi yang terbaik lagi, ya…pasti!”
Perkataan angkuh terus saja keluar dari mulutku, mencoba menghibur beruang yang sedang tidur hibernasi agar tak terbangun. Dengan angkuhnya aku menjalani kehidupanku seperti biasanya, hingga saat pengumuman hasil ujian tingkat provinsi…
“Mmm…gak sabar banget liat hasilnya, iya kan La? Huh berapa ya nilai gue? Duh semoga hasilnya sesuai harapan gue deh!” Ujar Sisi tak sabar.
“Iya Si semoga” senyuman palsu itu ku campakkan di hadapan Sisi, padahal di dalam hati aku sangat risau akan hasil yang akan ku dapat.
“Haha…lo enak La, lo pasti dapat perigkat satu lagi, soal kemaren pasti mudah banget kan buat lo”
“Aaa Sisi, jangan nyanjung gue gitu deh, belum tentu kok Si” memang itu kata yang keluar dari bibirku tapi sebenarnya aku sangat berdoa semoga hasilnya akan baik meski hatiku berkata kemungkinannya kecil.
“Nama gue mana ya? La tolong cariin nama gue dong!”
“Ihhh Si, gue harus nyari nama gue dulu dong!”
“Alah, klo nyari nama lo itu mudah pasti di urutan sa…t…uuu…?”
“Haaaaaaaaaahhh….”
Papan pengumuman menjadi saksi kekalahanku. Bibirku kelu tubuhku membatu. Keangkuhan membunuhku. Sebuah nama yang terukir di peringkat satu menyadarkaku bahwa dengan usaha dan tekun hal yang gak mungkin bisa jadi mungkin. Namaku tak bersinar lagi di pojok paling atas kertas itu, sinarnya meredup menjatuhkanku ke dalam lobang bernomor 10. Tak kusangka akan jadi seperti ini hidupku yang sudah nyaris sempurna hancur karena keangkuhan.
“La…udah dong jangan sedih mulu, papan pengumumnnya pasti salah, gue bakalan tanya wali kelas kita!”
“Si, udahlah itu semua pasti bener, gue yang salah” ku pegang erat tangan Sisi, tanpa sadar hujan air mata pun tak terbendung lagi. Aku menangis, aku menyesali semua kesombonganku. Keesokan harinya wali kelas memanggilku ke kantornya. Memberitahu hasil ujianku pada papaku dan ya… I’m failed.
Sesuai perjanjian aku akan masuk akademi polisi, setelah tamat SMA papaku mendaftarkanku ke sekolah akademi polisi terbaik tempat dia dulu sekolah, dengan mudah aku langsung bisa masuk dan menjadi salah satu calon perwira polisi di sana. Sebulan berlalu tapi tak ada dari nilaiku yang bagus, aku gagal dalam setiap mata pelajaran dan semua ujian praktek yang diberikan, tes fisiknya apalagi…huh…ditambah lagi di sekolah akademi aku sering berbuat onar, diantaranya malas-malasan, bertengkar dengan teman asrama, keluar asrama tanpa izin dan sebagainya.
Papaku yang berharap banyak padaku sudah sangat kecewa, akhirnya aku keluar dari sekolah akademi setelah 3 bulan berkat usulan teman papaku yang bekerja sebagai psikolog. Akhirnya aku bebas… namun kekecewaan papaku selalu terlihat, dia memutuskan untuk memberikan semua pilihan masa depanku padaku. Namun semenjak aku masuk dunia farmasi papaku murung, dia hanya sedikit bicara padaku. Hingga suatu hari aku mendapat gelar apoteker terbaik untuk pertama kalinya ia tersenyum bangga sejak aku keluar dari akademi polisi.
Disanalah hati hancur berkeping-keping saat hal yang terucap dari bibirnya adalah :
“Kau hebat, papa bangga padamu, seandainya kamu menepati janjimu, atau kamu berterus terang pada papa bahwa kamu tidak ingin menepati janjimu dan meminta pada papa untuk membatalkan perjanjian itu, papa pasti akan sangat bangga padamu!”
Senyuman yang keluar dari kata-kata itu menyadarkanku betapa aku sudah mengkhianati kepercayaan dan harapan papaku, goresan luka kecil ini terusku bawa hingga kini. Mulai saat itu aku tidak pernah lagi melihat senyuman di bibirnya hanya wajahnya yang datar yang selalu ku lihat, hingga detik terakhirnya. Semenjak saat itu aku tak pernah lagi keluar kata janji dari bibirku, perjanjian dan janji hanya mengingatkanku akan kegagalanku, tak peduli seberapa berhasilnya aku dimata orang, berapapun obat yang kuracik, berapapun kerasnya aku berusaha tetap saja dimatanya aku gagal. Gagal menepati janjiku padanya. Dan penyesalan itu terusku bawa hingga kini, aku berusaha berbuat baik sepanjang hidupku dengan harapan dia dapat memaafkanku dialam sana…
TAMAT
Biodata Penulis
Nama: Ayu Permata Sari
Alamat: Desa Datar Mansiang, Kota Sawahlunto, Provinsi Sumatera Barat
Email: ayupermatasari0619@gmail.com
HP/WA: 081267106680
Instagram: wonderwitch4040
Nge-Zoom Bareng : Peluncuran Mata Kuliah Kecerdasan Digital (Program Literasi Digital)
Webinar Fakultas Ekonomi Bisnis Islam IAIN Batusangkar, Mengulas Topik Ekonomi Syariah
Meriahkan HPN, UKKPK UNP Luncurkan SIGMA FM Versi Google Play dan Online
Meriahkan HPN, UKKPK UNP Luncurkan SIGMA FM Versi Google Play dan Online