Cerpen “Hawaii” Oleh Salsa Fadhilah Afnan

Hawaii
Oleh : Salsa Fadhilah Afnan
Sebuah benda dengan bentuk bulatan sempurna terpajang kokoh di sebuah tembok berwarna putih. Ia tidak hidup, tapi berjalan sepanjang waktu. Ia memiliki jarum, tapi tidak tajam. “Kamu tahu kepada siapa saja waktu berjalan?” tanya Shierra pada adiknya yang tengah menyuapkan makanan ke mulutnya. Lora yang pada Juli ini baru menginjak usia 5 tahun, terlihat tidak peduli dengan pertanyaan sang kakak.
“Apa benar waktu terus berjalan?” tanyanya kembali pada Lora, sebenarnya lebih terlihat seperti Shierra tengah meracau sendiri sambil mendongakkan kepalanya pada Jam dinding yang sudah menunjukan pukul 07.15. “Apa kita bisa merasakan waktu?” lanjutnya.
“Kak, susu coklatku habis. Boleh tambah?” Lora menyodorkan gelas kosong miliknya di depan wajah Shierra, mengalihkan pandangan kakaknya dari jam dinding kepada gelas sisa susu coklat milik adiknya itu.
Pagi itu setelah sarapan, Shierra mengantarkan adiknya ke Taman Kanak-kanak yang berada 2,5 km dari rumah dan 200 m dari tempat Ia bekerja. “Nanti jam 1 kakak jemput, tunggu dan jangan kemana-mana. Oke?” sambil mencubit hidung mungil Lora.
“Aduh sakit! Ngga mau, mama yang jemput boleh?” Lora memilin telunjuk kanan pada rambutnya yang tergerai, mata besarnya berbinar penuh permohonan. “Lora mau Mama, Lora mau mama yang jemput, ya boleh ya?”
Shierra tersenyum, “Oke. Sekarang masuk dulu, bu guru cantik udah nunggu kamu tu.” Setelahnya Lora berlari menghampiri sang guru dengan senyum lebar. Shierra bangkit dan berjalan meninggalkan pekarangan TK.
Setelah berjalan selama 10 menit, kini telah terpampang tulisan ‘Laundry Ibu’ di hadapan Shierra, Ia masuk dan mengganti pakaiannya menjadi kaus oblong dengan tulisan yang sama dengan yang tadi. Pagi ini ada 50 kg pakaian yang harus Ia setrika karena empunya akan menjemput nanti siang. Ruangan tempat Ia menyetrika hanya berukuran 2 m x 2 m dan lebih dari setengahnya sudah dipenuhi oleh tumpukan pakaian. Sejujurnya, Shierra sangat membenci menyetrika, kegiatan monoton dengan hanya memaju mundurkan setrika di atas pakaian secara berulang membuat Ia merasa sangat bosan, pinggangnya juga menjadi sakit karena terlalu lama duduk, dan tentu luka bakar menjadi temannya hampir setiap hari. Shierra sangat membencinya, tapi Ia harus melakukannya di ruangan sumpek dan panas itu. “Ah Hawaii panas yaa.”
Tepat pukul 13.00 Shierra berdiri di pekarangan TK menunggu Lora untuk dibawa ke tempat Ia bekerja. Shierra melihat Lora berlari sambil tertawa dengan teman-temannya. Lora melihat ke arah Shierra, seketika raut wajahnya berubah.
“Mama mana? Katanya hari ini mama yang jemput Lora?” mata Lora menyisir pekarangan untuk menemukan sosok yang Ia cari. “Lora ngga mau pulang sama kakak. Lora mau mama. Mama mana?” mata indah Lora kini hanya melihat kakaknya Shierra, matanya mulai memerah, sosok yang Ia harapkan ternyata tidak berada di sini.
“Mama di Laudry. Ayo kita tempat mama.” Shierra menggenggam tangan Lora dan berjalan tanpa mempedulikan bagaimana ekspresi adiknya saat ini. Mereka berjalan dengan lumayan cepat di tengah hiruk pikuk jalanan dan teriknya matahari. “Wah, matahari Hawaii terik banget.” sebut Shierra dalam hati sambil menghapus keringat di wajah menggunakan tangannya.
“Lora makan dulu ya di sini, kakak mau cuci baju dulu. Sambil nunggu mama, Lora harus makan yang banyak, kalau ngantuk ini bantalnya.” Shierra menyerahkan kotak nasi berwarna biru dan bantal bermotif polkadot kepada adiknya. Lora makan dengan lahap sambil sesekali melihat sosok yang melewati pintu yang dibiarkan terbuka. Setelah makanannya habis, Lora duduk bersandar pada dinding dengan pandangan pada pintu. Setelah 40 menit menunggu, Lora tertidur.
Pukul 16.00, Shierra yang telah menyelesaikan pekerjaan dibolehkan pulang. Melihat Lora yang masih tertidur pulas membuat Shierra tidak tega membangunkan adiknya itu. Shierra menggendong Lora di punggungnya sambil menyusuri jalanan pulang. Sore itu cuaca begitu bersahabat, Shierra tersenyum begitu melihat pohon dengan ribuan bunga dalam perjalanannya, “Wah bunga di Hawaii bagus yaa.”
Tidur Lora begitu pulas, bahkan hingga mereka tiba di rumah, Lora masih menutup matanya. Shierra meletakkan selimut di atas tubuh mungil Lora dan mengelus rambutnya. Shierra berjalan menjauh karena ia harus membersihkan diri sehabis bekerja, namun baru beberapa langkah ia berjalan dari Lora, sebuah suara keras mengejutkannya. Bahkan Lora pun ikut terbangun karenanya. Suara tersebut berasal dari dapur, Shierra langsung mengenali siapa dalang dari suara tadi. Ia berjalan perlahan menuju dapur dan terlihat sosok pria baruh baya tengah terduduk layu di hadapannya sambil memegang sebuah botol kaca.
“Minuman ayah habis. Tadi ayah cari udah ngga ada lagi, tinggal botol-botol. Trus pecah haha,” Ucap pria itu tidak jelas sambil menunjuk pecahan kaca yang sudah tersebar kemana-mana. Shierra hanya mematung melihat ayahnya. “Ayah pergi mau beli dulu.” lanjut pria itu berusaha bangkit, namun tangan yang menyangga tubuhnynya saat mencoba bangkit malah terlepas, Ia terjatuh di antara pecahan kaca. “Haha.” tawanya saat melihat darah segar mengalir dari berbagai bagian tubuh yang terluka. Shierra masih mematung, Ia tidak bisa bergerak. Mata dan wajahnya memerah, bukan karena Ia ingin menangis.
“Ayah pergi dulu.” pria tadi merangkak di antara pecahan kaca karena kakinya tidak bisa lagi menyangga, tubuh lemahnya tidak kuat untuk dibawa berdiri. Terlihat tidak mempedulikan bagaimana pecahan kaca menusuk tubuhnya dan darah terus mengalir, Ia terus merangkak. Pada rangkakan ketiga Ia kembali terjatuh, kali ini tubuh paruh baya itu semakin sulit untuk bangkit. “Bantu ayah berdiri, Ra. Ayah mau beli minum.”
Shierra berada pada puncaknya, Ia mengepalkan tangannya dengan kuat, “Cukup!” teriak Shierra, “Minta bantuanku karena ayah mau beli minuman? Cukup, yah. Cukup! Sampai kapan ayah mau mabuk-mabukan gini? Lora masih 5 tahun, yah. Apa yang bisa dia pikirkan saat melihat ayah kaya ini? Lora masih 5 tahun yah, Shierra juga masih 18 tahun. Belum seharusnya kami melihat ini semua, yah. Bukan cuma waktu ayah yang berhenti, kami juga –’’ seluruh wajahnya memerah, air mata sudah mengalir dari matanya, “Bukan cuma ayah yang ditinggal, kami juga! Bukan cuma ayah yang sedih, kami juga! Aku mohon, berhenti bersikap seolah-olah hanya ayah yang sakit karena ditinggal mama! Aku mohon yah, kami juga sakit. Shierra juga sedih, yah.”
Pria itu terdiam melihat anaknya. Shierra menunjuk jam dinding, “Liat jam itu, bagi ayah itu berguna ngga? Sejak setahun lalu, waktu seolah berhenti bagi Shierra. Semua hal dari dunia Shierra direnggut akibat kematian Mama. Mama yang pergi untuk selamanya, kuliah, mimpi-mimpi, cita- cita, bahkan kini juga merenggut ayah dari kami. Waktu Shierra juga berhenti, yah. Kini Shierra cuma hidup untuk ayah dan Lora. Apa ayah tahu betapa sulitnya harus berbohong dan menjanjikan hal yang sama berulang kali kepada Lora bahwa mama akan datang kembali? Shierra selalu bilang bahwa mama akan datang menjemput Lora, Shierra menjanjikan hal yang mustahil sama Lora karena hanya itu yang bisa aku lakukan, yah. Aku berbohong yah..” Shierra meneruskan perkataannya tidak memberikan jeda sedikit pun.
Lora yang terbangun akibat suara dan teriakan keras hanya bisa menutup telinga dengan tangannya di balik pintu kamar. Ia tidak paham dengan apa yang tengah terjadi, hanya saja Ia sangat ketakutan. “Mama, Lora takut. Lora takut, ma.”
“Apa ayah tahu bagaimana rasanya melihat ayah dengan keadaan seperti ini hampir setiap hari? Apa ayah tahu bagaimana rasanya mencoba terlihat baik-baik saja? Oh, tentu ayah ngga tau karena kerjaan ayah hanya minum dan menangisi kepergian mama setiap hari. Apa ayah tahu rasanya berjalan setiap hari di Kota Pekanbaru yang panas ini demi menghasilkan duit untuk Lora dan Ayah? Apa ayah tau rasanya terpaksa melakukan hal yang dibenci hanya untuk hidup? Oh, tentu ayah juga ngga tahu karena isi pikiran ayah hanya botol-botol sialan itu kan!” Shierra menunjuk pecahan kaca yang berada di lantai. Pria itu meneteskan air matanya, bukan karena luka berdarah, tapi karena anak gadisnya baru menamparnya dengan sangat keras menggunakan kalimat panjangnya.
Setahun lalu ibu mereka memilih menyerah terhadap rasa sakit yang telah Ia derita selama bertahun-tahun. Sejak saat itu, waktu di keluarga kecil mereka seolah berhenti karena pusaran kebahagiaan telah pergi. Waktu berjalan begitu lambat seolah menertawakan rasa sakit dan mempermainkan rasa sedih mereka. Ayah yang hanya memikirkan rasa sakitnya sendiri menghabiskan waktunya dengan meminum-minuman keras. Sedangkan Shierra, waktu miliknya telah berhenti, kini Ia hanya memastikan bahwa waktu milik Lora adiknya terus berjalan. Waktu di kehidupan Shierra telah berhenti setahun lalu, hanya Lora dan imajinasi yang Ia miliki saat ini. Seperti Hawaii, Kota impian yang membebaskan Shierra menghidupkan waktu dalam imajinasi miliknya dan menjadikan ia tetap hidup.
Setelah kalimatnya yang terakhir, Shierra berbalik badan dan meninggalkan ayahnya yang tengah tertegun sambil meneteskan air mata. Ia menghampiri Lora dan memeluk adiknya dengan erat, “Maafin kakak ya. Lora mau ketemu mama kan? Sekarang ambil tasnya, kita berangkat untuk ketemu mama.” Shierra melepas pelukannya, menatap Lora, dan tersenyum.
“Yeay Lora ketemu mama.”
Tamat
Biodata Penulis
Nama : Salsa Fadhilah Afnan
Tempat/tanggal lahir : Padang, 24 April 2001
Pendidikan : S1 Psikologi
Motto : Coba aja dulu, siapa tahu memang jalannya
Meriahkan HPN, UKKPK UNP Luncurkan SIGMA FM Versi Google Play dan Online
Sukses Diadakannya Final Lomba Doodle Art Tingkat Nasional Jurusan Fisika FMIPA UNP
Fiction Ke-5 Diikuti Oleh Mahasiswa se-Indonesia