Koalisi Masyarakat Pers Sumatera Barat Menolak Revisi RUU Penyiaran
Koalisi Masyarakat Pers Sumatera Barat Menolak Revisi RUU Penyiaran
Koalisi Masyarakat Pers Sumatera Barat bergerak melakukan aksi turun ke jalan. Mereka menolak revisi RUU Penyiaran yang diusulkan oleh DPR RI melalui Komisi I karena berpotensi membungkam kemerdekaan pers dan hak publik atas informasi. Gelombang penolakan sejumlah wartawan di sejumlah daerah terkait revisi RUU Penyiaran makin kencang digelar. Bahkan, Koalisi Masyarakat Pers Sumatera Barat (Sumbar) juga menyatakan penolakan mereka terhadap RUU diusulkan oleh DPR RI melalui Komisi I itu. Koalisi jurnalis yang tergabung di AJI Padang, PWI Sumbar, IJTI Sumbar, PFI Padang dan ASPEM Sumbar ini bergerak dari perempatan Jalan Khatib Sulaiman, tepatnya di depan Masjid Raya Sumbar, Jumat (24/5/2024).
Ketua IJTI Sumbar, Defri Mulyadi menegaskan bahwa bila RUU ini lolos jadi undang-undang, maka yang akan terdampak adalah jurnalis, media dan masyarakat.Untuk itu, dia meminta DPR meninjau ulang pasal-pasal rawan di RUU tersebut dan membahasnya kembali dengan melibatkan organisasi jurnalis, media dan masyarakat sipil.“Larangan di RUU itu akan membungkam kemerdekaan pers. DPR harus ingat bahwa UU Pers adalah produk reformasi, maka jangan itu pula yang dilabrak,” tegas Defri Mulyadi.
Pembatasan terhadap isi siaran jurnalistik dan perluasan definisi penyiaran dapat menghalangi hak publik untuk mendapatkan informasi yang benar dan akurat, yang merupakan hak asasi manusia.Revisi UU Penyiaran ini memuat berbagai ketentuan yang dianggap bermasalah dan bertentangan dengan prinsip demokrasi dan kebebasan pers. Dalam draf tertanggal 27 Maret 2024, beberapa pasal yang menjadi fokus kritik meliputi Pasal 50B, Pasal 8A, dan Pasal 42.
Pasal-pasal ini dianggap memberikan kewenangan berlebih kepada KPI dan membatasi kerja-kerja jurnalistik, yang seharusnya dilindungi oleh UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.Pasal ini mengabaikan Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers sebagai rujukan utama dalam praktek jurnalistik. Hal ini bisa mengarah pada interpretasi hukum yang sempit dan pembatasan terhadap kebebasan jurnalis dalam melaksanakan tugasnya.
“Sengketa yang timbul akibat dikeluarkannya keputusan KPI dapat diselesaikan melalui pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” bunyi Pasal 51 huruf E. Dengan memberikan KPI kewenangan menyelesaikan sengketa jurnalistik, potensi konflik kepentingan meningkat karena KPI lebih fokus pada regulasi penyiaran ketimbang melindungi kemerdekaan pers.
Penulis: Anggun Patricia
Sumber: arunala.com, padek.jawapos.com, radarsumbar.com
Nge-Zoom Bareng : Peluncuran Mata Kuliah Kecerdasan Digital (Program Literasi Digital)
Webinar Fakultas Ekonomi Bisnis Islam IAIN Batusangkar, Mengulas Topik Ekonomi Syariah
Meriahkan HPN, UKKPK UNP Luncurkan SIGMA FM Versi Google Play dan Online
Meriahkan HPN, UKKPK UNP Luncurkan SIGMA FM Versi Google Play dan Online