Algoritma Media Sosial: Ancaman Tersembunyi bagi Nalar Kritis Gen Z
Algoritma Media Sosial: Ancaman Tersembunyi bagi Nalar Kritis Gen Z
Di era digital saat ini, nalar kritis Generasi Z terancam oleh algoritma media sosial yang mempersempit ruang informasi. Algoritma seperti filter bubble dan echo chamber, yang mendominasi berbagai platform media sosial, termasuk TikTok, semakin mengisolasi pengguna dari sudut pandang yang beragam. Hal ini ditekankan dalam dua studi terbaru yang membahas pengaruh algoritma rekomendasi terhadap perilaku pengguna internet, terutama di kalangan Generasi Z.
Penelitian pertama yang dipublikasikan dalam jurnal Berkala Ilmu Perpustakaan dan Informasi (2021) mengungkapkan bahwa algoritma filter bubble bekerja dengan cara menyajikan konten berdasarkan perilaku dan preferensi pengguna sebelumnya. Meskipun ini mempermudah pencarian informasi, algoritma ini berisiko mengurung pengguna dalam ruang informasi sempit, membuat mereka sulit untuk mengeksplorasi perspektif yang berbeda. Fenomena ini diperparah oleh echo chamber, yang mempertemukan pengguna dengan mereka yang memiliki opini serupa, sehingga memperkuat keyakinan tanpa adanya dialog yang sehat
Penelitian kedua, yang dibahas dalam jurnal Recommendation Algorithm in TikTok: Strengths, Dilemmas, and Possible Directions (2022), menyoroti kekuatan dan tantangan algoritma rekomendasi TikTok. Algoritma ini sangat efektif dalam membaca preferensi pengguna, menggunakan data perilaku untuk menghadirkan konten yang dipersonalisasi di halaman For You Page. Namun, meskipun algoritma ini menciptakan keterlibatan emosional yang tinggi, risiko terbesar yang dihadapi pengguna adalah keterjebakan dalam konten yang monoton. TikTok memungkinkan pengguna terpapar pada konten serupa terus-menerus, yang tanpa disadari dapat menurunkan kemampuan berpikir kritis dan mengeksplorasi informasi baru
Dalam wawancara pada Kamis, (17/10/2024), Oftha Deyanda, seorang mahasiswa Psikologi di Universitas Negeri Padang, turut memberikan pandangannya mengenai pengaruh algoritma terhadap perilaku konsumsi konten di kalangan Generasi Z. Ia menyebutkan, “Menurut saya, kita para Gen Z memang hanya menonton atau menikmati video atau konten berdasarkan apa yang tersaji lewat algoritma aja, tanpa ada keinginan untuk mencari tahu informasi ini benar apa enggak. Tonton terus skip. Jadi kita nggak bisa nyangkal kalau kebiasaannya kayak gitu terus ya berdampak pada tingkat daya kritis kita.”
Lebih lanjut, Oftha juga memberikan solusi praktis, yakni jangan terlalu percaya pada konten yang muncul di For You Page (FYP) secara langsung. “Jangan terlalu percaya pada kasus yang FYP, kalian harus lihat berita yang lain dan lebih dalam lagi, terus bandingkan. Setelah tahu benar atau enggaknya baru kita percaya. Kalau enggak, ya kita cenderung percaya sama yang kita lihat, eh padahal hoaks,” ungkapnya.
Kekhawatiran tentang bahaya informasi di media sosial juga disuarakan oleh Nadia Alfira, mahasiswi Administrasi Kesehatan Universitas Negeri Makassar. Dalam tulisannya yang dimuat di Kumparan.com pada (16/10/2024), ia mengatakan, “Salah satu tren yang mengkhawatirkan adalah maraknya hoaks dan teori konspirasi yang menyebar cepat di sosial media. Ini bisa menciptakan kebingungan, bahkan membahayakan masyarakat jika informasi yang salah diterima mentah-mentah. Oleh karena itu, penting bagi anak muda untuk belajar literasi digital, memverifikasi sumber informasi, dan tidak ikut-ikutan menyebarkan informasi yang belum jelas kebenarannya.”
Para peneliti dan ahli sepakat bahwa algoritma rekomendasi membawa dampak negatif terhadap fleksibilitas mental dan keterbukaan terhadap informasi baru, terutama di kalangan Generasi Z. Generasi ini, sebagai pengguna aktif internet, sangat rentan terhadap fenomena filter bubble dan echo chamber yang membatasi mereka dari sudut pandang beragam. Dalam jangka panjang, ini dapat menurunkan kreativitas, menutup diri dari diskusi yang lebih luas, dan meningkatkan fanatisme terhadap satu pandangan tertentu.
Para peneliti dari jurnal Recommendation Algorithm in TikTok serta Berkala Ilmu Perpustakaan dan Informasi menawarkan solusi praktis untuk mengurangi efek buruk dari algoritma ini. Pengguna dapat memanfaatkan fitur seperti “tidak tertarik” di YouTube atau “mute words” di Twitter untuk memfilter konten yang muncul di beranda mereka. Selain itu, edukasi tentang pentingnya mengeksplorasi topik baru dan beragam juga sangat dianjurkan. Kesadaran akan bagaimana algoritma bekerja dapat membantu menjaga nalar kritis tetap tajam dan mendorong pengguna untuk lebih aktif dalam memilih konten yang mereka konsumsi.
Penulis: Azhar Hamid
Penyunting: Anggun Patricia
Meriahkan HPN, UKKPK UNP Luncurkan SIGMA FM Versi Google Play dan Online
Sukses Diadakannya Final Lomba Doodle Art Tingkat Nasional Jurusan Fisika FMIPA UNP
Fiction Ke-5 Diikuti Oleh Mahasiswa se-Indonesia